Astri melihat satu demi satu surat dan paket yang diterimanya, tak ada satupun untuk dirinya. Astri memang sudah lama tidak saling mengirimkan surat berbentuk fisik kepada siapapun. Sejak semakin luasnya jaringan internet dia lebih memilih menggunakan Email ataupun layanan-layanan pesan lainnya pada Social Media.
“Buatku adakn Astri ?” Salah seorang temannya memanggilnya dari balik pintu.
Astri melihat surat di tangannya satu demi satu, “Yup ada Rin...”
“Aseek... “ Rina temannya itu tiba-tiba sangat girang, Tangannya menyambut kedatangan Astri dengan suka cita.
Astri memberikan sebuah surat kepada Rina, “Dari sapa siy Rin?”
“Ada aja....” Rina menerima surat dari Astri dan langsung menyobek amplopnya, Tapi kemudian tiba-tiba terdiam, “Mas Husni belum ngirim apa-apa lagi Astri?”
Astri menggeleng, “ Aneh ya....” Kata Rina kemudian langsung berlalu begitu saja,
“Kalo aku jadi kamu Takdatangi deh Mas Husni itu, Lengkawang sini Cuma 4-5 jam ajakan? Apalagi kalo lewat selatan malah bisa 3 jam”
Rina berkata sambil membaca surat yang baru diterimanya.
Astri meletakkan surat dan paket di atas meja,
Direbahkannya punggungnya di kursi rotan di ruang TV d
i rumah kostnya. Pikirannya melayang ke Bang Husni, ‘kakak ketemu besar’ yang sangat menginspirasi dirinya. Sudah hampir 15 Tahun Bang Husni menjadi bagian dari hidupnya bahkan yang terpenting. Kalau Bang Husni tidak hadir dalam kehidupannya bisa jadi dia saat ini sudah menjadi Tenaga Kerja Wanita entah dimana. Kalau Bang Husni tidak hadir dalam kehidupannya tidak mungkin Astri bisa berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri dengan menyabet banyak prestasi hingga dia lulus. Kalau Bang Husni tidak hadir dalam kehidupannya bisa jadi dia sudah diserahkan kepada Seorang Tuan Tanah untuk dijadikan sebagai Istri Ketujuhnya. Tapi Bang Husni sekarang entah berada dimana dan sedang apa. Sudah hampir 4 bulan dia tidak
dihubungi dan bisa menghubungi. Tiap hari mengirim email juga tidak ada yang dibalas. Ada rasa khawatir dan perasaan tidak enak di dirinya. Ada sesuatu yang salah dengan hilangnya Bang Husni. Dan dia harus segera mencari tahu.
Astri segera bangkit dari kursi rotan dan berjalan cepat menuju kamarnya,
Rina yang baru saja membuat Mie Instan Rebus hampir menabrak dirinya, “Weits, nyante Bu’. Mo kemana keburu2 amat ?”
“Menemui Abangku....” Kata Astri singkat
.
“Nah gitu dong... “
Astri Tersenyum
Fikar duduk di sebuah bangku metal di ruang tunggu. Pandangannya menyapu ruangan, mencoba memecah kebuntuan atas rangkaian pertanyaan yang ada di dalam kepalanya. Pandangannya terhenti pada sesosok wanita kurus berambut sebahu yang menenteng sebuah majalah. Wanita itu kemudian duduk di sebuah kursi, memakai kaca matanya dan membaca majalah yang dipegangnya. Fikar tersenyum. Mirip banget sama Ana.
Ana juga selalu seperti itu, matanya minus 1,5 tapi dia malas mengenakan kacamata secara terus menerus. Dia lebih senang memicing-micingkan matanya untuk melihat sesuatu di kejauhan daripada harus terus menerus memakai kaca mata. Kaca mata hanya dipakainya saat menulis, membaca, atau mengetik sesuatu di depan layar komputer. Fikar sendiri bersyukur masih dikaruniai mata yang normal sampai detik ini.
Ana Ana, apa yang terjadi padamu?
Dia bertemu Ana terakhir dua bulan yang lalu. Memang Fikar merasa Ana agak tidak seperti biasanya, biasanya Ana tetap untuk selalu berusaha periang apapun kondisinya. Tapi ketika kepulangan kemarin entah kenapa Fikar merasa diantara berbagai kondisi yang menyebabkan Ana harus berusaha untuk selalu terlihat periang, dua bulan lalu dalam beberapa waktu Fikar memergoki Ana dalam keadaan bermuka murung. Ketika Fikar menanyakan ke Ana, Ana hanya menjawab :
“Aku tidak apa-apa, sedang agak flu saja...”
Fikarpun kemudian tidak terlalu memperhatikan lagi. Komunikasi-komunikasi berikutnya adalah melalui Chatting dan SMS. Disitu Ana keceplosan dan mengetik :
“Aku Tahu sesuatu mengenai Wahyu dan aku tidak menyangka itu benar...”
Ketika Fikar menanyakan ada apa, Ana langsung Sign Out.
Fikarpun sempat beberapa kali mencoba menelpon Wahyu dan mencari tahu, tapi reaksi Wahyu Standar saja.
Terakhir memang Fikar mendapat Informasi kalau Ana sedang menjalani terapi dengan seorang Psikiater. Cuma terapi apa pastinya Fikar tidak mendapatkan informasi yang terlalu spesifik. Ketika menanyakan ke Ayahnya ataupun Wahyu, mereka berdua hanya menjawab kalau Ana terlalu banyak pikiran. Ketika mencoba bertanya ke Ana, Ana hanya menjawab :
“Nanti kau juga tahu...”
Ana Ana, yang jelas sejak Ibu meninggal dua tahun yang lalu Fikar memang melihat Ana agak sedikit berubah. Tapi saat itu Fikar berpikir barangkali Ana berusaha menyesuaikan diri sebagai satu-satunya wanita dalam keluarga inti Sastranata. Dan beberapa bulan yang lalu hingga saat ini, Fikar ada pikiran yang lain jangan-jangan ada sesuatu yang lain yang menyebabkan perubahan-perubahan pada diri Ana.
Ketika tidak diberitahu sebab kematian Ana oleh Andi tadi entah kenapa Fikar langsung terbersit pikiran-pikirannya yang buruk. Tapi Fikar segera menyingkirkannya. Dia tidak ingin membayangkan yang tidak-tidak mengenai saudara kembarnya itu.
Fikar sendiri kadang agak merasa bersalah apabila benar terjadi sesuatu yang buruk pada Ana. Karena Fikar meninggalkan Ana sendirian di Distrik Kuala Menggala. Kepergiannya untuk studi jauh ke Jakarta sangat ditentang Orang Tuanya terutama juga Ana. Ayahnya sangat menginginkan Fikar melanjutkan ’Tradisi kepemimpinan keluarga Sastranata’ sehingga kalaulah Fikar kuliah janganlah terlalu jauh dari Kuala Menggala agar ‘lebih dekat’ dengan masyarakat kata Ayahnya. Malah Ayahnya menyarankan agar Fikar kuliah saja di kecamatan Kota di Lengkawang agar tidak perlu meninggalkan rumah di Distrik Kuala Menggala. Sementara Ana, sangat tidak ingin jauh dari Fikar. Sebenarnya Ana juga ingin ikut ke Jakarta bersama Fikar. Namun Ayahnya tidak memperbolehkan benar-benar sehingga dengan terpaksa melepas kepergian Fikar dan Ana melanjutkan kuliahnya di kecamatan kota di Lengkawang saja.
Sebagai saudara kembar Fikar dan Ana termasuk yang memiliki ‘ikatan’ satu sama lain. Awal terpisahnya Fikar dan Ana, Fikar di Jakarta dan Ana di Kuala Menggala, ketika satu sakit yang lainnya juga sakit, demikian terus terjadi berulang meski tidak langsung, hal ini terjadi hingga dua tahunan awal terpisahnya mereka.
Pukul 20.00, pemberitahuan agar penumpang segera menaiki pesawat terdengar. Dan Fikarpun segera beranjak dari kursinya dan berjalan menuju Pesawat yang akan membawanya ke Surabaya. Pikirannya becampur-campur, tiba-tiba dia merasakan perutnya perih, dia belum memakan apapun sejak pagi. Untungnya tadi Fikar sempat membeli beberapa kue yang akan dia makan selama di pesawat.
Satu jam lagi Fikar akan sampai di Surabaya untuk kemudian beberapa jam lagi sampai di Kampung Halamannya, di Distrik Kuala Menggala, Lengkawang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar