Selasa, 31 Januari 2012

J50K-3 : PRAHARA DI DISTRIK KUALA MENGGALA

Astri memasukkan modem ke salah satu slot USB Netbooknya.

Dia langsung membuka Google dan mengetik “Kuala Menggala, Lengkawang”.

Kuala Menggala adalah salah satu kecamatan dengan Otorisasi Khusus di Kota Administratif Lengkawang, Jawa Timur, Indonesia. Otorisasi khusus diberikan kepada Kuala Menggala dikarenakan Keputusan Bersama 5 Juni 1972 antara pejabat dan tokoh masyarakat dari Kuala Menggala dan Pemerintah Kota Lengkawang. Keputusan bersama juga termasuk mengenai penyebutan Kuala Menggala sebagai bukan lagi Kecamatan melainkan disebut Distrik.

Astri kemudian membuka website resmi Distrik Kuala Menggala.

“Waaw” Astri berdecak kagum.

Untuk Tampilan Situs Pemerintahan jelas situs pemerintahan Kuala Menggala sangatlah istimewa. Apalagi untuk sebuah pemerintahan selevel kecamatan. Sangat Lengkap, terlihat seperti situs sebuah perusahaan Multinasional. Hampir sulit dipercaya situs laman sebaik ini dikelola oleh Pemerintahan Kecamatan. Dia kemudian paham kenapa Kuala Menggala bisa sedemikian makmurnya dan seolah-olah seperti sebuah daerah yang ‘angkuh’ dengan meminta otorisasi khusus bahkan ‘tidak mau’ untuk disebut kecamatan padahal levelnya setara seperti itu.

Kuala Menggala sebelumnya sama seperti dengan kecamatan-kecamatan pada umumnya, hingga kemudian pada Tahun 1967 terjadi Gempa di Pulau Jawa dengan titik gempa pada perairan di dekat Kota Lengkawang. Karena berada di dekat Titik Gempa secara otomatis Kota Lengkawanglah yang paling banyak terkena dampak dari Gempa tersebut demikian pula dengan Kuala Menggala. Namun ternyata disamping banyaknya kerusakan material disana-sini gempa itu membawa berkah bagi Masyarakat Kuala Menggala. Karena Kuala Menggala sebagai salah satu wilayah kecamatan terluas dimana beberapa wilayahnya adalah bebukitan dan ternyata gempa tadi secara ajaib seperti memuntahkan emas dari perut bumi d bebukitan tersebut. Bebukitan yang kering dan cadas di Kuala Menggala ternyata menyimpan emas yang luar biasa di perut buminya yang sangat dalam. Dengan adanya gempa, emas itu seolah terangkat dan sangat memudahkan warganya untuk menambangnya. Adapun daerah yang paling banyak mengandung emas adalah Wilayah Gunung Leres.

Disisi lain, hampir sebagian besar wilayah di Gunung Leres dan sekitarnya pada waktu itu dimiliki oleh seorang Tokoh Masyarakat yang disegani yaitu Pak Sastrono. Pak Sastrono adalah tokoh yang sangat dihormati. Beliau memang orang yang sangat berwibawa. Akhirnya Pak Sastrono diminta untuk menjadi Pimpinan wilayah Kuala Menggala pada waktu itu. Hingga saat ini, meskipun dengan mekanisme pemilihan langsung, tradisi kepemimpinan keturunan Sastrono masih berjalan. Pak Sastrono digantikan oleh putranya, dan dilanjutkan keturunan-keturunan berikutnya.

Dengan memiliki emas yang melimpah dan pemerintahan yang baik, masyarakat Kuala Menggala sangatlah baik perekonomiannya. Sebenarnya Kuala Menggala ingin menjadi Kota sendiri lepas dari Lengkawang. Tetapi berhubung letak Kuala Menggala berada di agak tengah dari Kota Lengkawang dan beberapa pertimbangan Lainnya, disepakatilah beberapa hal mengenai Kuala Menggala pada 5 Juni 1974 dimana salah satunya adalah penggunaan kata Distrik, bukan kecamatan sebagaimana kecamatan-kecamatan lainnya di Lengkawang.

Astri tersenyum, membaca sekilas sejarah Kuala Menggala Astri seperti membaca riwayat mengenai sebuah tempat di negeri dongeng. Suatu daerah yang nyaris bukan apa-apa, kemudian mendapatkan keajaiban, lalu sekarang menjadi sedemikan makmurnya dengan dipimpin oleh pemimpin yang seolah-olah seperti raja karena mendapatkan kedudukannya secara turun temurun. Ada memang beberapa daerah di Indonesia yang kepala daerahnya mirip seperti sebuah kerajaan. Setelah suaminya yang walikota menjabat dua periode, dilanjutkan istrinya, lalu istrinya sudah dua periode, dilanjutkan putranya, begitu terus entah sampai siapa. Ada juga seperti di Banten yang hampir semua kepala daerahnya adalah keluarga sang gubernur. Tapi di Kuala Menggala ini berbeda, seperti misalnya Istri Kepala Distrik, dia tidak pernah kemudian menjadi Kepala Distrik. Pak Sastrono setelah menjabat dua periode sebagai kepala distrik digantikan oleh Hadi, Putra Pertamanya. Setelah Hadi digantikan oleh Arif, Adik dari Hadi atau Putra Bungsu Pak Sastrono, kebetulan diantara 4 anak Pak Sastrono hanya Arif dan Hadi-lah yang putra. Setelah Arif adalah Kepala Distrik saat ini, yakni Sastranata yang merupakan putra pertama dari Hadi. Sastranata akan berakhir pada tahun ini, dan dia adalah anak tunggal. Sementara Sepupu-sepupunya semuanya adalah Putri, ada sepupunya yang putra tetapi telah meninggal beberapa tahun belakangan ini. Sebenarnya Sastranata memiliki putra, tetapi putranya ini sangat tidak menyukai dunia politik sehingga merantau dan tinggal di Ibukota, Jakarta. Kemungkinan yang akan menjadi penggantinya adalah calon suami dari Putrinya. Kalau memang benar demikian, ini untuk pertama kalinya pemerintahan Kuala Menggala akan dipimpin oleh bukan keturunan asli dari Sastrono setelah 40 tahun.

Astri kemudian meng-klik informasi lain dari situs yang berbeda. Kali ini berita, berita mengenai putri kepala distrik Lengkawang yang bunuh diri. Zuliana, Putri Kepala Distrik Lengkawang yang memimiliki gangguan psikologis membunuh dirinya sendiri dengan menembak diri. Sebuah senjata tergeletak di dekat tubuhnya. Astri melihat tanggal berita itu, kemarin. Ada-ada saja, pikir Astri, padahal suami dari sang putri inilah yang akan melanjutkan kepemimpinan dari sang Ayah.

Astri kemudian menutup semua program yang dibukanya, dan men-shut down notebook-nya. Tekadnya sudah bulat, dia akan ke Distrik Kula Menggala di Kota Lengkawang esok pagi-pagi sekali, dia tidak sabar ingin menemui langsung Abangnya yang tidak pernah mengkontak dirinya beberapa bulan terakhir. Dia akan mencari alamatnya, mendatangi rumahnya, dan memberikan kejutan.

--------------------------------000--------------------------------------

Fikar mengecek semua koper dan tasnya, Komplit.

Fikarpun keluar menuju kerumunan para penjemput sambil menduga-duga sosok yang akan menjemputnya,

“Mas Zulifikar...”

Sebuah suara mengagetkannya dari belakang, Fikarpun berbalik,

“Pak Sasongko, Alhamdulillah... Gimana kabar pak?” Fikar menjabat tangang Lelaki paruh baya yang telah dia kenal sejak masih kecil,

“Alhamdulillah baik Mas Fikar... “ Jawab Pak Sasongko sambil tersenyum,

“Saya kira yang njemput saya Mas Andi Pak Sas...”

“O... Andi Cuma ditugaskan menghubungi Mas Fikar sama membookingkan tiket pesawat, saya ini tadi udah berangkat ke Juanda duluan buat njemput mas Fikar “

Fikar tiba-tiba merasa tersentak,

Sejenak tadi dia lupa dalam rangka apa dia melakukan perjalanan ini, namun sekarang teringat kembali. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca.

Pak Sasongko sambil menarik koper Fikar melihat perubahan Fikar.

“Yang sabar Mas Fikar... Didoakan saja Mbak Ana...”

Fikar mengangguk-angguk.

“Ana menembak dirinya sendiri ya Pak Sas?”

Pak Sasongko tiba-tiba menghentikan langkahnya menuju mobil..

“Kabarnya demikian Mas Fikar...”

“Saya merasa kok tidak seperti itu ya Pak Sas... “

“Merasa gimana Mas ?”

“Aku merasa Ana itu kuat, meski dia terkadang terlihat sangat rapuh...

Fikar menarik nafasnya panjang, “Rasa-rasanya dia tidak selemah itu untuk membunuh dirinya sendiri...”

Pak Sasongko terdiam sambil memasukkan koper dan tas Fikar ke dalam bagasi. Dalam hati, dia, Pak Sasongko juga mengimani pendapat Fikar. Cukup lama Pak Sasongko menjadi sopir di keluarga besar, dia mengenal cukup baik Fikar dan Ana. Namun apa yang terjadi beberapa waktu terakhir turut juga menjadi kebingungan serta keprihatinan bagi Pak Sasongko.

Mobil Toyota Innova hitam yang membawa Fikar melaju keluar dari parkiran Bandara Juanda untuk kemudian melaju terus ke Timur menuju Distrik Kuala Menggala, Kabupaten Lengkawang . Entah kenapa Fikar merasa sangat letih dan mengantuk, diapun kemudian tidur. Dalam mimpinya terbayang-bayang memori masa kecilnya bersama Ana, Saudarinya yang kini telah meninggalkannya.

Rabu, 04 Januari 2012

J50K-2 : PRAHARA DI DISTRIK KUALA MENGGALA


Astri melihat satu demi satu surat dan paket yang diterimanya, tak ada satupun untuk dirinya. Astri memang sudah lama tidak saling mengirimkan surat berbentuk fisik kepada siapapun. Sejak semakin luasnya jaringan internet dia lebih memilih menggunakan Email ataupun layanan-layanan pesan lainnya pada Social Media.


“Buatku adakn Astri ?” Salah seorang temannya memanggilnya dari balik pintu.

Astri melihat surat di tangannya satu demi satu, “Yup ada Rin...”

“Aseek... “ Rina temannya itu tiba-tiba sangat girang, Tangannya menyambut kedatangan Astri dengan suka cita.


Astri memberikan sebuah surat kepada Rina, “Dari sapa siy Rin?”

“Ada aja....” Rina menerima surat dari Astri dan langsung menyobek amplopnya, Tapi kemudian tiba-tiba terdiam, “Mas Husni belum ngirim apa-apa lagi Astri?”

Astri menggeleng, “ Aneh ya....” Kata Rina kemudian langsung berlalu begitu saja,

“Kalo aku jadi kamu Takdatangi deh Mas Husni itu, Lengkawang sini Cuma 4-5 jam ajakan? Apalagi kalo lewat selatan malah bisa 3 jam”

Rina berkata sambil membaca surat yang baru diterimanya.

Astri meletakkan surat dan paket di atas meja,

Direbahkannya punggungnya di kursi rotan di ruang TV d


i rumah kostnya. Pikirannya melayang ke Bang Husni, ‘kakak ketemu besar’ yang sangat menginspirasi dirinya. Sudah hampir 15 Tahun Bang Husni menjadi bagian dari hidupnya bahkan yang terpenting. Kalau Bang Husni tidak hadir dalam kehidupannya bisa jadi dia saat ini sudah menjadi Tenaga Kerja Wanita entah dimana. Kalau Bang Husni tidak hadir dalam kehidupannya tidak mungkin Astri bisa berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri dengan menyabet banyak prestasi hingga dia lulus. Kalau Bang Husni tidak hadir dalam kehidupannya bisa jadi dia sudah diserahkan kepada Seorang Tuan Tanah untuk dijadikan sebagai Istri Ketujuhnya. Tapi Bang Husni sekarang entah berada dimana dan sedang apa. Sudah hampir 4 bulan dia tidak

dihubungi dan bisa menghubungi. Tiap hari mengirim email juga tidak ada yang dibalas. Ada rasa khawatir dan perasaan tidak enak di dirinya. Ada sesuatu yang salah dengan hilangnya Bang Husni. Dan dia harus segera mencari tahu.

Astri segera bangkit dari kursi rotan dan berjalan cepat menuju kamarnya,

Rina yang baru saja membuat Mie Instan Rebus hampir menabrak dirinya, “Weits, nyante Bu’. Mo kemana keburu2 amat ?”

“Menemui Abangku....” Kata Astri singkat

.

“Nah gitu dong... “

Astri Tersenyum

----------------------000-----------------------


Fikar duduk di sebuah bangku metal di ruang tunggu. Pandangannya menyapu ruangan, mencoba memecah kebuntuan atas rangkaian pertanyaan yang ada di dalam kepalanya. Pandangannya terhenti pada sesosok wanita kurus berambut sebahu yang menenteng sebuah majalah. Wanita itu kemudian duduk di sebuah kursi, memakai kaca matanya dan membaca majalah yang dipegangnya. Fikar tersenyum. Mirip banget sama Ana.

Ana juga selalu seperti itu, matanya minus 1,5 tapi dia malas mengenakan kacamata secara terus menerus. Dia lebih senang memicing-micingkan matanya untuk melihat sesuatu di kejauhan daripada harus terus menerus memakai kaca mata. Kaca mata hanya dipakainya saat menulis, membaca, atau mengetik sesuatu di depan layar komputer. Fikar sendiri bersyukur masih dikaruniai mata yang normal sampai detik ini.

Ana Ana, apa yang terjadi padamu?

Dia bertemu Ana terakhir dua bulan yang lalu. Memang Fikar merasa Ana agak tidak seperti biasanya, biasanya Ana tetap untuk selalu berusaha periang apapun kondisinya. Tapi ketika kepulangan kemarin entah kenapa Fikar merasa diantara berbagai kondisi yang menyebabkan Ana harus berusaha untuk selalu terlihat periang, dua bulan lalu dalam beberapa waktu Fikar memergoki Ana dalam keadaan bermuka murung. Ketika Fikar menanyakan ke Ana, Ana hanya menjawab :

“Aku tidak apa-apa, sedang agak flu saja...”

Fikarpun kemudian tidak terlalu memperhatikan lagi. Komunikasi-komunikasi berikutnya adalah melalui Chatting dan SMS. Disitu Ana keceplosan dan mengetik :

“Aku Tahu sesuatu mengenai Wahyu dan aku tidak menyangka itu benar...”

Ketika Fikar menanyakan ada apa, Ana langsung Sign Out.

Fikarpun sempat beberapa kali mencoba menelpon Wahyu dan mencari tahu, tapi reaksi Wahyu Standar saja.

Terakhir memang Fikar mendapat Informasi kalau Ana sedang menjalani terapi dengan seorang Psikiater. Cuma terapi apa pastinya Fikar tidak mendapatkan informasi yang terlalu spesifik. Ketika menanyakan ke Ayahnya ataupun Wahyu, mereka berdua hanya menjawab kalau Ana terlalu banyak pikiran. Ketika mencoba bertanya ke Ana, Ana hanya menjawab :

“Nanti kau juga tahu...”

Ana Ana, yang jelas sejak Ibu meninggal dua tahun yang lalu Fikar memang melihat Ana agak sedikit berubah. Tapi saat itu Fikar berpikir barangkali Ana berusaha menyesuaikan diri sebagai satu-satunya wanita dalam keluarga inti Sastranata. Dan beberapa bulan yang lalu hingga saat ini, Fikar ada pikiran yang lain jangan-jangan ada sesuatu yang lain yang menyebabkan perubahan-perubahan pada diri Ana.

Ketika tidak diberitahu sebab kematian Ana oleh Andi tadi entah kenapa Fikar langsung terbersit pikiran-pikirannya yang buruk. Tapi Fikar segera menyingkirkannya. Dia tidak ingin membayangkan yang tidak-tidak mengenai saudara kembarnya itu.

Fikar sendiri kadang agak merasa bersalah apabila benar terjadi sesuatu yang buruk pada Ana. Karena Fikar meninggalkan Ana sendirian di Distrik Kuala Menggala. Kepergiannya untuk studi jauh ke Jakarta sangat ditentang Orang Tuanya terutama juga Ana. Ayahnya sangat menginginkan Fikar melanjutkan ’Tradisi kepemimpinan keluarga Sastranata’ sehingga kalaulah Fikar kuliah janganlah terlalu jauh dari Kuala Menggala agar ‘lebih dekat’ dengan masyarakat kata Ayahnya. Malah Ayahnya menyarankan agar Fikar kuliah saja di kecamatan Kota di Lengkawang agar tidak perlu meninggalkan rumah di Distrik Kuala Menggala. Sementara Ana, sangat tidak ingin jauh dari Fikar. Sebenarnya Ana juga ingin ikut ke Jakarta bersama Fikar. Namun Ayahnya tidak memperbolehkan benar-benar sehingga dengan terpaksa melepas kepergian Fikar dan Ana melanjutkan kuliahnya di kecamatan kota di Lengkawang saja.

Sebagai saudara kembar Fikar dan Ana termasuk yang memiliki ‘ikatan’ satu sama lain. Awal terpisahnya Fikar dan Ana, Fikar di Jakarta dan Ana di Kuala Menggala, ketika satu sakit yang lainnya juga sakit, demikian terus terjadi berulang meski tidak langsung, hal ini terjadi hingga dua tahunan awal terpisahnya mereka.

Pukul 20.00, pemberitahuan agar penumpang segera menaiki pesawat terdengar. Dan Fikarpun segera beranjak dari kursinya dan berjalan menuju Pesawat yang akan membawanya ke Surabaya. Pikirannya becampur-campur, tiba-tiba dia merasakan perutnya perih, dia belum memakan apapun sejak pagi. Untungnya tadi Fikar sempat membeli beberapa kue yang akan dia makan selama di pesawat.

Satu jam lagi Fikar akan sampai di Surabaya untuk kemudian beberapa jam lagi sampai di Kampung Halamannya, di Distrik Kuala Menggala, Lengkawang.

Senin, 02 Januari 2012

J50K-1 : PRAHARA DI DISTRIK KUALA MENGGALA

Seorang wanita melangkah gontai menuju sebuah lemari kaca...

Pikirannya berkecamuk membayangkan apa yang baru saja dilihatnya dengan apa-apa saja yang dia telah ketahui sebelumnya. Wanita ini tidak tahu apakah dia sanggup menahan ini semua hingga sampai kapan. Satu hal yang dia pikirkan adalah dia jelas tidak mau berlama-lama dalam keadaan yang seperti ini.

Ana, nama wanita itu, membuka lemari kaca itu dan merogoh bagian belakang lemari itu untuk mencari sebuah kunci. Begitu kunci itu didapatkan dengan gemetar Ana memakainya untuk membuka sebuah laci di bagian bawah kemari kaca. Mudah sekali bagi Ana membuka laci dengan kunci tersebut. Begitu terbuka Ana langsung semakin bergetar dengan apa yang dilihatnya, sebuah pistol revolver hitam mengkilat terletakkan dengan rapi disana. Dengan gemetar Ana mengambil revolver itu, diletakkannya di pipi revolver itu di pipinya, dingin. Terakhir kali Ana memakainya 5 tahun yang lalu bersama Fikar saudara kembarnya dalam sebuah latihan menembak. Tidak Ana sangka dia akan memegang kembali benda ini dalam situasi yang seperti ini.

Ditariknya pelatuk pistol itu dan ditempelkannya ujungnya di pelipis kanannya...

“DOR !!!”

Ana tergeletak...

------------------ooo------------------------

Fikar terlonjak terbangun dari Tidur siangnya yang santai.

Fikar melihat HP-nya, Pukul 14.45.

Fikar terduduk terdiam di kasurnya. Firasat apa ini, pikirnya....

Fikarpun beranjak dari kasurnya dan mengambil sebotol air mineral dan meminumnya. “Ah, ini pasti imbas lembur kemarin” Dia memang baru pulang tadi pagi setelah mengerjakan Annual Report Keuangan perusahaannya, rasa-rasanya angka-angka masih berputar-putar dalam kepalanya. Diapun membuka pintu kamarnya dan keluar. Dilihatnya temannya Teguh begitu tekun di depan Notebook-nya.

“Ngerjain apalagi Guh?” Tanyanya.

“Hasil Interview kemaren, buat nanti di-email ke Donkey Maximal Jam 3 Tet “ Teguh menjawab dengan tanpa memalingkan wajahnya dari Layar Notebooknya, jemarinya lincah menari-nari diatas keyboard.

“ What ? Jam 3 Tet ? Kurang 15 menit lagi Bro !”

“Halah, lewat2 dikit juga gak napa... Donkey aja lo... Tau ndirilah gue kayak gimana...”

Fikar ngikik, Donkey nama aslinya adalah Dona, editor di Majalah tempat Teguh bekerja. Teguh adalah Wartawan di sebuah majalah Gaya Hidup Pria yang cukup ternama. Katanya siy editor itu kudu cerewet karena terkait dengan tampilan kata-kata pada tulisan dalam sebuah majalah. Namun Dona alias Donkey cerewet dengan a little bit different way... dan Way ini, sangat disukai dan suka sekali untuk disepelekan oleh Teguh dan beberapa teman se-gang-nya di tempat kerja. Dona sendiri baru dua bulan menjadi editor, sebelumnya dia sama wartawannya seperti Teguh. Kalo kata Teguh dibandingkan editor sebelumnya, Dona jauh lebih santai. Maka dari itu meski di-deadline tulisan harus selesai pada hari dan jam sekian, Teguh dan kawan-kawannya sudah pasti akan melanggarnya meski itu tidak terlalu lama. Donapun ikhlas dipanggil Donkey oleh rekan-rekannya di kantor. Namun meski disepelekan dalam beberapa hal, Dona sangat baik hati dan hampir tidak pernah menyemprot siapapun sehingga rekan-rekan kerjanya akan sungkan apabila membuat Dona terlalu lama menunggu tulisan-tulisan yang harus diedit olehnya sebelum diproses lebih lanjut.

DEEEEEEERT DEEEEEEERT DEEEEEEERT

Handphone Teguh bergetar dengan hebohnya.

Teguh mengambil handphonenya dan melihatnya. Sebuah nomor tidak dikenal.

“Hallo “

“Apakah benar ini Mas Teguh Setiawan?”

“Iya, saya sendiri, ini dengan siapa ya?”

“Saya Andi, saya diperintahkan Pak Sastranata untuk menghubungi Mas Zulfikar. Dari tadi saya mencoba menghubungi Mas Zulfikar tetapi Handphonenya tidak diangkat”

“O Fikar, ada niy di sebelah saya...” Teguh segera memberikan Handphonenya ke Fikar, “Dari Utusannya Bokap Lu Kar...”

Fikar menerima HP Teguh dengan bingung, “Kok tilpun ke kamu?” Tanya Fikar bengong, Teguh mengangkat bahu,

“Hallo...” Kata Fikar

“Ini Mas Zulfikar ? Saya Andi Mas.... “

“O iya, Mas Andi putranya Pak Sasongko y? Gimana kabar Mas?”

“Baik Mas, ini Mas... Bapak minta Mas Zulfikar segera pulang ke Kuala Menggala hari ini mas...”

“What ? Ada apa Mas Andi ? Habis lembur niy mas, kalo besok pagi aja gimana, belum pesen tiket juga niy”

“Mbak Ana meninggal Mas Fikar”

“HAH !!! JANGAN BECANDA MAS !!!” Seru Fikar Kaget, Teguhpun juga ikut kaget. Diperhatikannya teman satu kontrakannya ini.

“Iya Mas, Mbak Ana meninggal satu jam-an yang lalu, Mas Fikar diminta pulang, untuk tiket sudah dibookingkan, Bapak saya juga sudah menuju Juanda untuk menjemput Mas Fikar, habis ini kode bookingnya saya SMS-kan.”

Mendadak Fikar merasa mual, tubuhnya gontai, “Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’un” Desisnya pelan. Teguh yang segera tanggap segera merangkul Fikar, diambilnya Handphone di tangan Fikar.

“Hallo Hallo....” Suara Andi terdengar bingung dari speaker.

“Iya Hallo, “ Kata Teguh.

Fikar kembali merebut Handphone Teguh, “Ana kenapa Mas Andi?” Air mata mulai menggenangi kelopak matanya.

“Wah, mohon maaf mas... saya tidak enak menyampaikannya, pokoknya Mas Fikar segera pulang saja ya.... Tiket sudah dipesankan dan Bapak saya sudah on the way menjemput Mas Fikar di Juanda.”

“ANA KENAPA MAS?” Tanya Fikar kembali dengan garang.

“Mohon maaf mas, saya tidak enak ngomongnya. Gitu aja ya Mas Fikar, Matur Suwun, Assalamualaikum”

Tuut Tuut Tuut

Suara Telepon terputus.

Fikar terduduk lemas di lantai, Teguh menepuk2 pundaknya...

Fikar menghela nafas panjang, “Ana meninggal Teguh...”

Teguh mengangguk perlahan.

“Oya, Handphone !” Fikar segera bangkit dan berlari menuju kamarnya. Sesampai di kamar diambilnya Handphonenya yang tergeletak di kasur.

5 Panggilan tidak terjawab.

1 SMS Masuk.

“Pantas tadi orang-orang menghubungi Teguh” Desisnya pelan.

Fikar membuka SMS, ternyata kode boking dan jam keberangkatan pesawatnya.

Fikar segera mengambil kopor di bawah kasurnya dan memasukkan baju-bajunya. Satu hal saja yang dia pikirkan saat ini adalah pulang. Pesawatnya 3 jam lagi berangkat dan dia tidak punya banyak waktu, perjalanan rumah ke bandara bisa memakan waktu 2 jam kalau lalu lintasnya macet.

“Fikar...” Teguh memasuki kamarnya.

“Gue Panggilin Taksi ya...”

Fikar mengangguk, Teguh segera keluar dan menelpon Taksi.

Sebenarnya dia ingin diantar oleh Teguh, tapi Fikar tahu kalau saat ini teguh sedang dideadline Tulisan untuk Majalahnya. Dia ingin ada teman bicara selama perjalanan ke bandara meski tidak tahu apa yang harus dibicarakan. “Ah sudahlah...” Katanya dalam hati.

Fikar ke kamar mandi untuk mengambil peralatan mandinya, Ups... bahkan hari ini dia belum mandi dari pagi.... Pulang kantor tadi pagi badan dan pikirannya benar-benar letih. Begitu sampai kamar langsung terpejam dan baru bangun beberapa saat yang lalu. Bahkan sesuap nasipun belum mampir ke perutnya hari ini. Dimasukkannya peralatan mandinya ke dalam tas plastik kecil dan dimasukkan ke dalam kopor.

“Taksinya udah datang...” Kata Teguh.

“Makasih ya Guh...”

“Gue sori banget ya gak bisa nganter, kontak-kontak ya... Insya Allah besok gue ke Tempat Lo..”

Teguh Menghampiri Fikar dan memeluknya, ditepuk-tepuknya punggung sahabatnya itu.

“Yang tabah sob... “ Kata Teguh.

Fikar menarik nafas panjang sambil mengusap air matanya yang jatuh.

“Insya Allah, maapin dan doain Ana ya Teguh... firasatku nggak enak niy terkait penyebab kematiannya...”

“Insya Allah gue doain Ana, diakan sobat gue juga”

“Thanks Ya....”

Fikar memeluk kembali sahabatnya yang satu ini.

“Ini udah kopernya ?”

Teguh menarik Koper Fikar, dan mulai menariknya.

Fikar mengangguk. Dalam beberapa jam lagi dia akan berada di Rumahnya di Distrik Kuala Menggala Kabupaten Lengkawang. Perjalanan yang cukup jauh karena setelah Sesampainya di Bandara Juanda Surabaya dia harus menempuh perjalanan lagi antara 3-4 jam.

Teguh memasukkan Kopor Fikar ke dalam Bagasi.

“Ati-ati ya Fikar... Ati-Ati di Jalan...” Teguh menyalami Fikar.

“Jangan ngebut bang !” kata Teguh akrab ke Sopir Taksinya.

Fikar Tersenyum, satu hal yang paling disenanginya dari Teguh adalah Teguh ini selalu santai. Sangat berbeda dengan Fikar yang suka tiba-tiba spaneng.

Taksi yang dinaiki Fikar kemudian melaju, Teguh melambaikan tangan melepas kepergian Fikar.

Fikar sendiri menaiki Taksi yang akan membawanya ke bandara ini dengan perasaan yang berkecamuk. Entah kenapa Fikar merasakan ada sesuatu yang salah dengan berita kematian Saudara Kembarnya ini. Beberapa komunikasi terakhir memang Fikar Merasa Ana sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat yang Fikar belum berhasil mengkoreknya. Ana sempat keceplosan salah satunya mengenai Wahyu, tunangannya. Wahyu memang akan mencalonkan diri menjadi Kepala Distrik di Kuala Menggala. Kans Wahyu cukup besar menjadi Kepala Distrik karena Kepala Distrik yang sudah dua kali berturut-turut menjabat telah memberikan dukungan kepadanya. Kepala Distrik ini yang tak lain dan tak bukan adalah Pak Sastranata, ayah Fikar dan Ana. Apalagi Wahyu akan menjadi bagian dari keluarga Sastranata, tapi entahlah setelah kematian Ana ini apakah konstelasi ini masih akan berjalan seperti itu. Karena jelas dengan kematian Ana, Wahyu tidak akan menjadi bagian dari Keluarga Sastranata. Selama ini memang sejak Otorisasi khusus diberikan kepada Kuala Menggala, Kepala Distriknya adalah selalu berasal dari keluarga besar Fikar. Mulai dari Buyut hingga sekarang Ayahnya. Sebenarnya Ayahnya berharap Fikar meneruskan ‘tradisi kepemimpinan keluarga’ ini, tetapi Fikar melarikan diri dengan kuliah di Jakarta hingga kini kemudian dia bekerja di Sebuah Perusahaan Manufaktur. Ana selaku adik kembar Fikar juga tidak berminat dalam dunia pemerintahan. Dia lebih menyenangi sastra dan mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak di Distrik Kuala Menggala.

Oh Ana, apa yang terjadi padamu ? Pikiran ini terus menggelayuti Fikar di sepanjang perjalanan menuju Bandara.

Sebagai Saudara Kembar, seringkali Fikar merasakan seperti apa yang dirasakan oleh saudarinya ini. Ketika beberapa tahun yang lalu Fikar terkena Demam berdarah, Ana tiba-tiba juga sakit meski penyakitnya berbeda. Ketika Ana sangat sedih putus dengan kekasihnya di kampus, Fikarpun tiba-tiba merasa sedih juga sebelum akhirnya tahu kalau saudarinya ini ternyata sedang diputus oleh kekasihnya. Beberapa bulan ini, seiring perkembangan perusahaan tempat dia bekerja kesibukannya yang makin meningkat membuat dia merasa ‘putus’ koneksi dengan saudara kembarnya ini. Tapi tetap sesekali dia merasakan sesuatu yang ternyata begitu dia menghubungi Ana, Ana sedang mengalami kejadian tertentu.

Sebagai dua bersaudara saja dalam sebuah keluarga pejabat kaya raya di Distrik Kuala Menggala menyebabkan hubungan Fikar dan Ana sangat dekat. Bagi Fikar, Ana adalah adiknya yang cantik, periang, perasa, sedikit misterius, tetapi romantis. Begitulah yang Fikar pikirkan mengenai adiknya sampai saat ini. Meski terakhir Fikar pulang ke rumah dua bulan yang lalu Fikar melihat Ana sedang menyembunyikan sesuatu dan agak pemurung, Fikar berfikir itu biasa saja. Karena dulupun sesekali Ana suka berprilaku seperti itu.

Oh Ana, Apa yang terjadi padamu....

Mobil Taksi yang membawa Fikar terus melaju menuju Bandara Sukarno Hatta, mengiringi perasaan-perasaan yang berkecamuk dalam pikiran Fikar.

--------------------ooo------------------------------

Seorang gadis duduk di depan teras sebuah rumah dengan gelisah. Gadis ini sedang menunggu sesuatu. Wajah Gadis ini langsung cerah melihat sosok yang dia tunggu-tunggu sudah datang, Tukang Pos. Gadis ini segera menghampiri Tukang Pos itu.

“Maaf Astri, Abangmu masih belum mengirim lagi untuk bulan ini...” Kata Tukang Pos itu sambil menyerahkan beberapa surat dan paket ke Astri.

Astri menanda tangani buku ekspedisi dan menerima tumpukan surat dan paket itu dengan tidak bergairah.

“Ini Bulan Ketiga Bang Husni tidak mengirimi saya majalah Pak.” Kata Astri Mengadu.

Tukang Pos itu mengangkat bahu, “Kalau kau tidak bisa menghubunginya sama sekali kenapa kau tudak mengujunginya saja?”

“Ke Kuala Menggala ?” Kata Astri menatap Tukang Pos itu.

“Iya, dia tinggal disanakan?”

Astri mengangguk, Tukang Pos menstarter motornya dan berlalu meninggalkan Astri.

Astri menghela nafas.

“Kemana Bang Husni ini...”