Senin, 02 Januari 2012

J50K-1 : PRAHARA DI DISTRIK KUALA MENGGALA

Seorang wanita melangkah gontai menuju sebuah lemari kaca...

Pikirannya berkecamuk membayangkan apa yang baru saja dilihatnya dengan apa-apa saja yang dia telah ketahui sebelumnya. Wanita ini tidak tahu apakah dia sanggup menahan ini semua hingga sampai kapan. Satu hal yang dia pikirkan adalah dia jelas tidak mau berlama-lama dalam keadaan yang seperti ini.

Ana, nama wanita itu, membuka lemari kaca itu dan merogoh bagian belakang lemari itu untuk mencari sebuah kunci. Begitu kunci itu didapatkan dengan gemetar Ana memakainya untuk membuka sebuah laci di bagian bawah kemari kaca. Mudah sekali bagi Ana membuka laci dengan kunci tersebut. Begitu terbuka Ana langsung semakin bergetar dengan apa yang dilihatnya, sebuah pistol revolver hitam mengkilat terletakkan dengan rapi disana. Dengan gemetar Ana mengambil revolver itu, diletakkannya di pipi revolver itu di pipinya, dingin. Terakhir kali Ana memakainya 5 tahun yang lalu bersama Fikar saudara kembarnya dalam sebuah latihan menembak. Tidak Ana sangka dia akan memegang kembali benda ini dalam situasi yang seperti ini.

Ditariknya pelatuk pistol itu dan ditempelkannya ujungnya di pelipis kanannya...

“DOR !!!”

Ana tergeletak...

------------------ooo------------------------

Fikar terlonjak terbangun dari Tidur siangnya yang santai.

Fikar melihat HP-nya, Pukul 14.45.

Fikar terduduk terdiam di kasurnya. Firasat apa ini, pikirnya....

Fikarpun beranjak dari kasurnya dan mengambil sebotol air mineral dan meminumnya. “Ah, ini pasti imbas lembur kemarin” Dia memang baru pulang tadi pagi setelah mengerjakan Annual Report Keuangan perusahaannya, rasa-rasanya angka-angka masih berputar-putar dalam kepalanya. Diapun membuka pintu kamarnya dan keluar. Dilihatnya temannya Teguh begitu tekun di depan Notebook-nya.

“Ngerjain apalagi Guh?” Tanyanya.

“Hasil Interview kemaren, buat nanti di-email ke Donkey Maximal Jam 3 Tet “ Teguh menjawab dengan tanpa memalingkan wajahnya dari Layar Notebooknya, jemarinya lincah menari-nari diatas keyboard.

“ What ? Jam 3 Tet ? Kurang 15 menit lagi Bro !”

“Halah, lewat2 dikit juga gak napa... Donkey aja lo... Tau ndirilah gue kayak gimana...”

Fikar ngikik, Donkey nama aslinya adalah Dona, editor di Majalah tempat Teguh bekerja. Teguh adalah Wartawan di sebuah majalah Gaya Hidup Pria yang cukup ternama. Katanya siy editor itu kudu cerewet karena terkait dengan tampilan kata-kata pada tulisan dalam sebuah majalah. Namun Dona alias Donkey cerewet dengan a little bit different way... dan Way ini, sangat disukai dan suka sekali untuk disepelekan oleh Teguh dan beberapa teman se-gang-nya di tempat kerja. Dona sendiri baru dua bulan menjadi editor, sebelumnya dia sama wartawannya seperti Teguh. Kalo kata Teguh dibandingkan editor sebelumnya, Dona jauh lebih santai. Maka dari itu meski di-deadline tulisan harus selesai pada hari dan jam sekian, Teguh dan kawan-kawannya sudah pasti akan melanggarnya meski itu tidak terlalu lama. Donapun ikhlas dipanggil Donkey oleh rekan-rekannya di kantor. Namun meski disepelekan dalam beberapa hal, Dona sangat baik hati dan hampir tidak pernah menyemprot siapapun sehingga rekan-rekan kerjanya akan sungkan apabila membuat Dona terlalu lama menunggu tulisan-tulisan yang harus diedit olehnya sebelum diproses lebih lanjut.

DEEEEEEERT DEEEEEEERT DEEEEEEERT

Handphone Teguh bergetar dengan hebohnya.

Teguh mengambil handphonenya dan melihatnya. Sebuah nomor tidak dikenal.

“Hallo “

“Apakah benar ini Mas Teguh Setiawan?”

“Iya, saya sendiri, ini dengan siapa ya?”

“Saya Andi, saya diperintahkan Pak Sastranata untuk menghubungi Mas Zulfikar. Dari tadi saya mencoba menghubungi Mas Zulfikar tetapi Handphonenya tidak diangkat”

“O Fikar, ada niy di sebelah saya...” Teguh segera memberikan Handphonenya ke Fikar, “Dari Utusannya Bokap Lu Kar...”

Fikar menerima HP Teguh dengan bingung, “Kok tilpun ke kamu?” Tanya Fikar bengong, Teguh mengangkat bahu,

“Hallo...” Kata Fikar

“Ini Mas Zulfikar ? Saya Andi Mas.... “

“O iya, Mas Andi putranya Pak Sasongko y? Gimana kabar Mas?”

“Baik Mas, ini Mas... Bapak minta Mas Zulfikar segera pulang ke Kuala Menggala hari ini mas...”

“What ? Ada apa Mas Andi ? Habis lembur niy mas, kalo besok pagi aja gimana, belum pesen tiket juga niy”

“Mbak Ana meninggal Mas Fikar”

“HAH !!! JANGAN BECANDA MAS !!!” Seru Fikar Kaget, Teguhpun juga ikut kaget. Diperhatikannya teman satu kontrakannya ini.

“Iya Mas, Mbak Ana meninggal satu jam-an yang lalu, Mas Fikar diminta pulang, untuk tiket sudah dibookingkan, Bapak saya juga sudah menuju Juanda untuk menjemput Mas Fikar, habis ini kode bookingnya saya SMS-kan.”

Mendadak Fikar merasa mual, tubuhnya gontai, “Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’un” Desisnya pelan. Teguh yang segera tanggap segera merangkul Fikar, diambilnya Handphone di tangan Fikar.

“Hallo Hallo....” Suara Andi terdengar bingung dari speaker.

“Iya Hallo, “ Kata Teguh.

Fikar kembali merebut Handphone Teguh, “Ana kenapa Mas Andi?” Air mata mulai menggenangi kelopak matanya.

“Wah, mohon maaf mas... saya tidak enak menyampaikannya, pokoknya Mas Fikar segera pulang saja ya.... Tiket sudah dipesankan dan Bapak saya sudah on the way menjemput Mas Fikar di Juanda.”

“ANA KENAPA MAS?” Tanya Fikar kembali dengan garang.

“Mohon maaf mas, saya tidak enak ngomongnya. Gitu aja ya Mas Fikar, Matur Suwun, Assalamualaikum”

Tuut Tuut Tuut

Suara Telepon terputus.

Fikar terduduk lemas di lantai, Teguh menepuk2 pundaknya...

Fikar menghela nafas panjang, “Ana meninggal Teguh...”

Teguh mengangguk perlahan.

“Oya, Handphone !” Fikar segera bangkit dan berlari menuju kamarnya. Sesampai di kamar diambilnya Handphonenya yang tergeletak di kasur.

5 Panggilan tidak terjawab.

1 SMS Masuk.

“Pantas tadi orang-orang menghubungi Teguh” Desisnya pelan.

Fikar membuka SMS, ternyata kode boking dan jam keberangkatan pesawatnya.

Fikar segera mengambil kopor di bawah kasurnya dan memasukkan baju-bajunya. Satu hal saja yang dia pikirkan saat ini adalah pulang. Pesawatnya 3 jam lagi berangkat dan dia tidak punya banyak waktu, perjalanan rumah ke bandara bisa memakan waktu 2 jam kalau lalu lintasnya macet.

“Fikar...” Teguh memasuki kamarnya.

“Gue Panggilin Taksi ya...”

Fikar mengangguk, Teguh segera keluar dan menelpon Taksi.

Sebenarnya dia ingin diantar oleh Teguh, tapi Fikar tahu kalau saat ini teguh sedang dideadline Tulisan untuk Majalahnya. Dia ingin ada teman bicara selama perjalanan ke bandara meski tidak tahu apa yang harus dibicarakan. “Ah sudahlah...” Katanya dalam hati.

Fikar ke kamar mandi untuk mengambil peralatan mandinya, Ups... bahkan hari ini dia belum mandi dari pagi.... Pulang kantor tadi pagi badan dan pikirannya benar-benar letih. Begitu sampai kamar langsung terpejam dan baru bangun beberapa saat yang lalu. Bahkan sesuap nasipun belum mampir ke perutnya hari ini. Dimasukkannya peralatan mandinya ke dalam tas plastik kecil dan dimasukkan ke dalam kopor.

“Taksinya udah datang...” Kata Teguh.

“Makasih ya Guh...”

“Gue sori banget ya gak bisa nganter, kontak-kontak ya... Insya Allah besok gue ke Tempat Lo..”

Teguh Menghampiri Fikar dan memeluknya, ditepuk-tepuknya punggung sahabatnya itu.

“Yang tabah sob... “ Kata Teguh.

Fikar menarik nafas panjang sambil mengusap air matanya yang jatuh.

“Insya Allah, maapin dan doain Ana ya Teguh... firasatku nggak enak niy terkait penyebab kematiannya...”

“Insya Allah gue doain Ana, diakan sobat gue juga”

“Thanks Ya....”

Fikar memeluk kembali sahabatnya yang satu ini.

“Ini udah kopernya ?”

Teguh menarik Koper Fikar, dan mulai menariknya.

Fikar mengangguk. Dalam beberapa jam lagi dia akan berada di Rumahnya di Distrik Kuala Menggala Kabupaten Lengkawang. Perjalanan yang cukup jauh karena setelah Sesampainya di Bandara Juanda Surabaya dia harus menempuh perjalanan lagi antara 3-4 jam.

Teguh memasukkan Kopor Fikar ke dalam Bagasi.

“Ati-ati ya Fikar... Ati-Ati di Jalan...” Teguh menyalami Fikar.

“Jangan ngebut bang !” kata Teguh akrab ke Sopir Taksinya.

Fikar Tersenyum, satu hal yang paling disenanginya dari Teguh adalah Teguh ini selalu santai. Sangat berbeda dengan Fikar yang suka tiba-tiba spaneng.

Taksi yang dinaiki Fikar kemudian melaju, Teguh melambaikan tangan melepas kepergian Fikar.

Fikar sendiri menaiki Taksi yang akan membawanya ke bandara ini dengan perasaan yang berkecamuk. Entah kenapa Fikar merasakan ada sesuatu yang salah dengan berita kematian Saudara Kembarnya ini. Beberapa komunikasi terakhir memang Fikar Merasa Ana sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat yang Fikar belum berhasil mengkoreknya. Ana sempat keceplosan salah satunya mengenai Wahyu, tunangannya. Wahyu memang akan mencalonkan diri menjadi Kepala Distrik di Kuala Menggala. Kans Wahyu cukup besar menjadi Kepala Distrik karena Kepala Distrik yang sudah dua kali berturut-turut menjabat telah memberikan dukungan kepadanya. Kepala Distrik ini yang tak lain dan tak bukan adalah Pak Sastranata, ayah Fikar dan Ana. Apalagi Wahyu akan menjadi bagian dari keluarga Sastranata, tapi entahlah setelah kematian Ana ini apakah konstelasi ini masih akan berjalan seperti itu. Karena jelas dengan kematian Ana, Wahyu tidak akan menjadi bagian dari Keluarga Sastranata. Selama ini memang sejak Otorisasi khusus diberikan kepada Kuala Menggala, Kepala Distriknya adalah selalu berasal dari keluarga besar Fikar. Mulai dari Buyut hingga sekarang Ayahnya. Sebenarnya Ayahnya berharap Fikar meneruskan ‘tradisi kepemimpinan keluarga’ ini, tetapi Fikar melarikan diri dengan kuliah di Jakarta hingga kini kemudian dia bekerja di Sebuah Perusahaan Manufaktur. Ana selaku adik kembar Fikar juga tidak berminat dalam dunia pemerintahan. Dia lebih menyenangi sastra dan mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak di Distrik Kuala Menggala.

Oh Ana, apa yang terjadi padamu ? Pikiran ini terus menggelayuti Fikar di sepanjang perjalanan menuju Bandara.

Sebagai Saudara Kembar, seringkali Fikar merasakan seperti apa yang dirasakan oleh saudarinya ini. Ketika beberapa tahun yang lalu Fikar terkena Demam berdarah, Ana tiba-tiba juga sakit meski penyakitnya berbeda. Ketika Ana sangat sedih putus dengan kekasihnya di kampus, Fikarpun tiba-tiba merasa sedih juga sebelum akhirnya tahu kalau saudarinya ini ternyata sedang diputus oleh kekasihnya. Beberapa bulan ini, seiring perkembangan perusahaan tempat dia bekerja kesibukannya yang makin meningkat membuat dia merasa ‘putus’ koneksi dengan saudara kembarnya ini. Tapi tetap sesekali dia merasakan sesuatu yang ternyata begitu dia menghubungi Ana, Ana sedang mengalami kejadian tertentu.

Sebagai dua bersaudara saja dalam sebuah keluarga pejabat kaya raya di Distrik Kuala Menggala menyebabkan hubungan Fikar dan Ana sangat dekat. Bagi Fikar, Ana adalah adiknya yang cantik, periang, perasa, sedikit misterius, tetapi romantis. Begitulah yang Fikar pikirkan mengenai adiknya sampai saat ini. Meski terakhir Fikar pulang ke rumah dua bulan yang lalu Fikar melihat Ana sedang menyembunyikan sesuatu dan agak pemurung, Fikar berfikir itu biasa saja. Karena dulupun sesekali Ana suka berprilaku seperti itu.

Oh Ana, Apa yang terjadi padamu....

Mobil Taksi yang membawa Fikar terus melaju menuju Bandara Sukarno Hatta, mengiringi perasaan-perasaan yang berkecamuk dalam pikiran Fikar.

--------------------ooo------------------------------

Seorang gadis duduk di depan teras sebuah rumah dengan gelisah. Gadis ini sedang menunggu sesuatu. Wajah Gadis ini langsung cerah melihat sosok yang dia tunggu-tunggu sudah datang, Tukang Pos. Gadis ini segera menghampiri Tukang Pos itu.

“Maaf Astri, Abangmu masih belum mengirim lagi untuk bulan ini...” Kata Tukang Pos itu sambil menyerahkan beberapa surat dan paket ke Astri.

Astri menanda tangani buku ekspedisi dan menerima tumpukan surat dan paket itu dengan tidak bergairah.

“Ini Bulan Ketiga Bang Husni tidak mengirimi saya majalah Pak.” Kata Astri Mengadu.

Tukang Pos itu mengangkat bahu, “Kalau kau tidak bisa menghubunginya sama sekali kenapa kau tudak mengujunginya saja?”

“Ke Kuala Menggala ?” Kata Astri menatap Tukang Pos itu.

“Iya, dia tinggal disanakan?”

Astri mengangguk, Tukang Pos menstarter motornya dan berlalu meninggalkan Astri.

Astri menghela nafas.

“Kemana Bang Husni ini...”

1 komentar: